Ilmu VS Adab, mana yang lebih baik ?
Sampai sat ini
saya masih mencium tangan para dosen saya, dulu saya ingat ketika menjadi
mahasiswa “cium tangan” adalah sebagai bukti kita hormat dan sebagai penolak
marahnya dosen agar saya tetap boleh masuk pelajaranya walaupun saya terlambat
(akal bulus mahasiswa). Saat saya masih kuliah, saya termasuk siswi yang urakan
dan sesuaka hati. Nantinya pengalaman mengajarkan banyak hal tentang disiplin dan
adab – baru sadar dulu memang sangat kurang adab. Jiwa muda memang selalu “merasa benar”
sangatlah kentara apa lagi ditambah doktrin dan power organisasi.
Ah sudah lah..itu
adalah contoh sederhana dari kurangnya etika dan moral.
“Tidak termasuk golongan umatku orang yang tidak menghormati
mereka yang lebih tua dan tidak mengasihi mereka yang lebih muda darinya, serta
tidak mengetahui hak-hak orang berilmu.” (HR. Ahmad).
Ilmu Vs Adab mana
yang lebih penting ??
Imam Ibnul Mubarak berkata:
“Aku
belajar adab selama tiga puluh tahun, dan aku belajar ilmu selama dua puluh
tahun.”
Seorang ulama Salaf menasehati anaknya :
“Wahai
anakku, aku lebih suka melihatmu mempelajari satu bab tentang adab dibanding
mempelajari tujuh puluh bab tentang ilmu.”
Al Mikhlad bin Husain berkata kepada Imam Ibnul Mubarak:
“Kita jauh
lebih membutuhkan banyaknya adab dibanding banyaknya hadits.”
Diriwayatkan dari Musa bin Nushair, beliau berkata:
“Aku
mendengar Isa bin Hammad menasehati para pelajar ilmu hadits:
“Pelajarilah
kelembutan hati dan kerandahan jiwa sebelum kalian belajar ilmu.”
Imam Ibnu Wahab berkata:
“Aku
lebih mengutamakan belajar adab kepada Imam Malik dibanding belajar ilmu
darinya.”
Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) berkata:
“Kisah-kisah
tentang kehidupan para ulama dan duduk dalm majlis mereka lebih aku sukai dari
mempelajari banyak ilmu, karena kisah-kisah itu penuh dengan ketinggian adab
dan akhlak mereka.”
Imam Ibnul Mubarak menyusun sebuah syair:
Wahai
para penuntut ilmu, datanglah kepada Imam Hammad bin Zaid
Dan
belajarlah ilmu dan kelembutan hati lalu ikatlah dengan pengikat yang kuat
Cerita ini viral
disosmed, tidak tau asalnya dari mana,, nyata ataupun tidak. Tp pelajaran berharga
dapat di ambil dari sini. Saya sangat pedulu terhadap pendidikan. Dan share
ilmu bermanfaat adalah salah satu hal sederhana yang berarti.
Sering Share Ilmu Bukan Untuk “Sok Alim” “Sok Pinter” Tetapi
Berharap Pahala.
Dua belas tahun
lalu, seorang wanita pergi kuliah di Prancis. Dia harus kuliah sambil kerja.
Dia perhatikan bahwa sistem transportasi ditempat itu menggunakan sistem
"otomatis", artinya kita membeli tiket sesuai dengan tujuan melalui
mesin. Setiap perhentian kendaraan umum pakai cara "self-service" dan
jarang sekali diperiksa petugas. Bahkan periksa insidentil oleh petugas pun
hampir tidak ada. Setelah dia temukan kelemahan sistem ini, dengan kelicikannya
dia perhitungkan kemungkinan tertangkap petugas dengan tidak membeli tiket
sangatlah kecil. Sejak itu, dia selalu naik kendaraan umum dengan tidak
membayar tiket. Dia bahkan merasa bangga atas kepintarannya. Dia juga menghibur
dirinya karena dia anggap dirinya adalah murid miskin, dan kalau bisa irit ya
iritlah.
Namun, dia tidak
sadar dia sedang melakukan kesalahan fatal yg akan mempengaruh karirnya. Setelah
4 tahun berlalu, dia tamat dari fakultas yang ternama dengan angka yang sangat
bagus. Ini membuat dirinya penuh dengan keyakinan. Dia mulai memohon kerja di
perusahan yang ternama di Paris dengan pengharapan besar untuk diterima. Pada
mulanya, semua perusahan ini menyambut dia dengan hangat. Namun berapa hari
kemudian, semuanya menolak dia untuk berkerja. Kegagalan yang terjadi berulang
kali membuat dia sangat marah. Dia mulai anggap perusahan-perusahan ini rasis,
tidak mau terima warga negara asing. Akhirnya, dia memaksa masuk ke departemen tenaga
kerja untuk bertemu dengan managernya. Dia ingin tahu alasan apa perusahan
menolak bekerja. Ternyata, penjelasannya diluar sangkaannya.
Manager: “Nona,
kami tidak rasis, sebaliknya kami sangat mementingkan mu. Pada saat Anda mohon
bekerja di perusahaan, kami terkesan dengan pendidikan dan pencapaian anda.
Sesungguhnya, berdasarkan kemampuan, anda sebenarnya pekerja yang kami
cari-cari.”
Wanita: “Kalau
begitu, kenapa perusahan tidak terima aku bekerja?”
Manager: “Karena
kami periksa sejarahmu, ternyata anda pernah tiga kali kena sanksi tidak
membayar tiket saat naik kendaraan umum.
Wanita: “Aku
mengakuinya, tapi masa karena perkara kecil ini perusahaan menolak pekerja yang
mahir dan sering kali tulisannya terbit di majalah?”
Manager: “Perkara
kecil? Kami tidak anggap ini perkara kecil. Kami perhatikan pertama kali anda
melanggar hukum terjadi di minggu pertama anda masuk di negara ini. Petugas
percaya dengan penjelasan bahwa anda masih belum mengerti sistem pembayaran.
Diampuni, tapi anda tertangkap 2x lagi setelah itu”
Wanita: “Oh karena
tidak ada uang kecil saat itu.”
Manager: “Tidak,
tidak. Kami tidak bisa terima penjelasan anda. Jangan anggap kami bodoh. Kami
yakin anda telah melakukan penipuan ratusan kali sebelum tertangkap”
Wanita: “Itu bukan
kesalahan mematikan kan? Kenapa harus begitu serius? Lain kali saya berubah kan
masih bisa”
Manager: “Saya
tidak anggap demikian. Perbuatan anda membuktikan dua hal:
1. Anda tidak
mengikuti peraturan yang ada. Anda pintar mencari kelemahan dalam peraturan dan
memanfaatkan untuk diri sendiri.
2. Anda tidak bisa
dipercaya. Banyak pekerjaan di perusahan kami tergantung pada kepercayaan. Jika
anda diberikan tanggung-jawab atas penjualan di sebuah wilayah, maka anda akan
diberikan kuasa yang besar. Demi ongkos, kami tidak sanggup memakai sistem
kontrol untuk mengawasi pekerjaanmu. Perusahan kami mirip dengan sistem
transportasi di negeri ini. Oleh sebab itu, kami tidak bisa pakai anda. Saya
berani katakan, di negara kami bahkan seluruh Eropa, tidak ada perusahan yang
mau pakai anda.”
Pada saat itu,
wanita ini seperti bangun dari mimpinya dan sangat menyesal. Perkataan manager
yang terakhir membuat hatinya gentar.
Moral dan etika bisa menutupi kekurangan IQ atau kepintaran.
Tetapi IQ atau kepintaran bagaimanapun tidak akan bisa menolong
etika yang buruk
“Kami tidak
terlalu khawatir jika anak2 sekolah dasar kami tidak pandai Matematika” kami
jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.”
Belajar mengantre
lebih penting daripada belajar matematika
“Sewaktu ditanya
mengapa dan kok bisa begitu ?” Kerena yang terjadi di negara kita justru
sebaliknya.
Karena kita hanya
perlu melatih anak selama 3 bulan saja secara intensif untuk bisa Matematika,
sementara kita perlu melatih anak hingga 12 tahun atau lebih untuk bisa
mengantri dan selalu ingat pelajaran berharga di balik proses mengantri.Karena
tidak semua anak kelak akan berprofesi menggunakan ilmu matematika kecuali
TAMBAH, KALI, KURANG DAN BAGI. Sebagian mereka anak menjadi Penari, Atlet
Olimpiade, Penyanyi, Musisi, Pelukis dsb. Karena biasanya hanya sebagian kecil
saja dari murid-murid dalam satu kelas yang kelak akan memilih profesi di
bidang yang berhubungan dengan Matematika. Sementara SEMUA MURID DALAM SATU
KELAS ini pasti akan membutuhkan Etika Moral dan Pelajaran Berharga dari
mengantri di sepanjang hidup mereka kelak.