Zakat, Infaq, Sodakoh dan Wakaf
Pengertian
Zakat
Pengertian zakat menurut bahasa adalah suci dan tumbuh dengan subur. Secara
istilah berarti mengeluarkan sebagian harta benda sebagai sedekah wajib, sesuai
dengan perintah Allah dengan aturan yang sudah ditentukan oleh syari’ah. Zakat
adalah ibadah maaliyah ijtima’iyah yang memiliki posisi sangat penting,
strategis, dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi
pembangunan kesejahteraan umat. Oleh karena itu di dalam Al-Quran dan Hadits,
banyak perintah untuk berzakat. Di dalam Al-Quran sendiri terdapat dua puluh
tujuh ayat yang mensejajarkan kewajiban shalat dengan kewajiban zakat dalam
berbagai kata. Di dalam Al-Quran maupun Hadits terdapat banyak pujian bagi yang
melaksanakannya. Begitu pula sebaliknya terdapat juga ancaman bagi yang tidak
melaksanakannya. Dengan perkataan “hak yang telah ditentukan besarnya” (haqqun
muqaddarun), berarti zakat tidak mencakup hak-hak –berupa pemberian harta– yang
besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dengan
perkataan “yang wajib (dikeluarkan)” (yajibu), berarti zakat tidak mencakup hak
yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti shadaqah tathawwu’ (sedekah
sunnah). Sedangkan ungkapan “pada harta-harta tertentu” (fi amwaalin
mu’ayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum,
melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan
nash-nash syara’ yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya.
Pengertian Infaq
Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq adalah
penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan (sharful maal ilal haajah) (Al
Jurjani, tt : 39). Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas
dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan dengan “alat
transportasi” yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain-lain–
sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat
transportasi. Maka hibah, hadiah, wasiat, wakaf, nazar (untuk membelanjakan
harta), nafkah kepada keluarga, kaffarah (berupa harta) karena melanggar
sumpah, melakukan zhihar, membunuh dengan sengaja, dan jima’ di siang hari
bulan Ramadhan, adalah termasuk infaq. Bahkan zakat itu sendiri juga termasuk
salah satu kegiatan infak. Sebab semua itu merupakan upaya untuk memenuhi
kebutuhan, baik kebutuhan pihak pemberi maupun pihak penerima.
Pengertian Shadaqah
Adapun istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut
ini :
Pertama, shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan (Mahmud Yunus, 1936 : 33, Wahbah Az Zuhaili, 1996 : 919). Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah (Az Zuhaili 1996 : 916). Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah (Az Zuhaili 1996 : 751). Namun seperti uraian Az Zuhaili (1996 : 916), hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara’ : “Al wasilatu ilal haram haram” “Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”. Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa (mudhthar) yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar (izalah adh dharar) yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali dengan shadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’ :“ Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib” “Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”
Dalam ‘urf (kebiasaan) para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini –yang hukumnya sunnah– bukan zakat. Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat (Zallum, 1983 : 148). Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT : “Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60) Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman :“…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim). Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”. Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah –dalam konteks ayat atau hadits tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain. Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha” (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain. Dengan demikian, kata “shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya. Ketiga, shadaqah adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah shadaqah). Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah. Agaknya arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnya At Ta’rifaat. Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.
Pertama, shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan (Mahmud Yunus, 1936 : 33, Wahbah Az Zuhaili, 1996 : 919). Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah (Az Zuhaili 1996 : 916). Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah (Az Zuhaili 1996 : 751). Namun seperti uraian Az Zuhaili (1996 : 916), hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara’ : “Al wasilatu ilal haram haram” “Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”. Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa (mudhthar) yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar (izalah adh dharar) yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali dengan shadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’ :“ Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib” “Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”
Dalam ‘urf (kebiasaan) para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini –yang hukumnya sunnah– bukan zakat. Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat (Zallum, 1983 : 148). Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT : “Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60) Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman :“…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim). Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”. Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah –dalam konteks ayat atau hadits tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain. Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha” (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain. Dengan demikian, kata “shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya. Ketiga, shadaqah adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah shadaqah). Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah. Agaknya arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnya At Ta’rifaat. Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.
Pengertian Wakaf
Seperti yang telah diutarakan di atas bahwasanya wakaf merupakan betuk
infaq. Waqf atau wakaf secara bahasa berarti berhenti, menahan atau diam. Dari
sudut pandang syariah, wakaf sering diartikan sebagai asset yang diaokasikan
untuk kemanfaatan ummat dimana substansi pokoknya boleh dinikmati untuk
kepentingan umum. Pengembangan harta melalui wakaf tidak didasarkan pada target
pencapaian keuntungan bagi pemodal -- baik pemerintah maupun swasta -- tetapi
lebih didasarkan pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan kerja sama.
Oleh karenanya, agama menjanjikan pahala yang abadi bagi pewakaf (waqif) selama
aset yang diwakafkannya masih bermanfaat bagi kepentingan orang banyak. Wakaf mempunyai beberapa rukun, diantaranya: Wakif : Orang yang berwakaf Mauquf
bih : benda yang diwakafkan Nazhir : Pengeola wakaf Mauquf ‘alaih : penerima
Wakaf. Ijab Qobul Selain itu, secara teoritis, aset yang diwakafkan semestinya harus terus
terpelihara dan berkembang. Hal itu terlihat dari adanya larangan untuk
mengurangi aset yang telah diwakafkan (al-mal al-mawqif), atau membiarkannya
tanpa diolah atau dimanfaatkan, apalagi untuk menjualnya. Artinya, harus ada
upaya pemeliharaan, paling tidak terhadap pokok atau substansi wakaf dan
terhadap daya produksinya, dan pengembangan yang terus menerus. Dari Ibnu Umar
ra. Berkata bahwa sahabat Umar ra. Mempeoleh sebidang tanah di Khaibar,
kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata: “Ya
Rasulullah saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah
mendaptkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?
Rasulullah menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan pokoknya tanah itu dan kamu
sedekahkan hasilnya. Kemudian Umar melakukan sedekah, tidak dijual, tidak
dihibahkan dan tidak juga diwariskan. Berkata Ibnu Umar, Umar menyedekahkannya
kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil
dan tamu, Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf
itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan
dengan maksud menumpuk harta.”
Comments
Post a Comment